Saturday 19 January 2013

ANALISIS VARIABEL-VARIABEL METEOROLOGI TENTANG PERUBAHAN IKLIM


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Revolusi industri yang dimulai di Eropa sejak tahun 1840 ditandai oleh pemakaian bahan bakar fosil, terutama konsumsi bahan bakar batubara yang telah meningkatkan secara drastis gas rumah kaca di atmosfer. Gas rumah kaca yang utama yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil tersebut adalah karbondioksida (CO2). Akibat adanya efek gas rumah kaca tersebut telah memicu peningkatan temperatur udara bumi secara global dari tahun ke tahun secara signifikan. Fenomena ini dikenal sebagai pemanasan global. Pemanasan global yang disebabkan oleh gas-gas rumah kaca secara jelas telah dan akan terus mempengaruhi iklim dunia. WWF Indonesia dan IPCC (1999) telah melaporkan bahwa temperatur tahunan di Indonesia meningkat sebesar 0,30C sejak tahun 1990. Sebuah scenario perubahan iklim (WWF Indonesia dan IPCC, 1999) memperkirakan bahwa temperatur akan meningkat antara 1.30C sampai dengan 4.60C pada tahun 2100 dengan trend sebesar 0.10C–0.40C per tahun. Selanjutnya Susandi (2006) memproyeksikan kenaikan temperature Indonesia akan mencapai 3,50C pada tahun 2100, sementara temperatur global bumi akan mencapai maksimum 6,20C pada tahun tersebut. Implikasi dari kenaikan temperatur tersebut
akan menaikkan muka air laut sebesar 100 cm pada tahun 2100. Akumulasi kejadi ini akan mempengaruhi infrastruktur, bangunan, dan kegiatan manusia saat ini dan mendatang.
            Salah satu persoalan kebutuhan manusia yang terpengaruh sebagai dampak pemanasan global tersebut adalah ketersedian air. Ketersediaan air merupakan permasalahan yang penting yang terkait dengan perubahan iklim. Vörösmarty et al. (2000) menunjukan bahwa masalah air terjadi karena adanya peningkatan penduduk bumi sehingga meningkatkan pula kebutuhan air. Kebutuhan yang meningkat akan semakin menekan pada sistem air global yang berkaitan dengan efek pemanasan global. Peningkatan jumlah penduduk dan ekonomi menjadi pendorong utama kebutuhan air, sementara itu ketersediaannya dipengaruhi oleh peningkatan evaporasi (penguapan) akibat peningkatan temperatur permukaan bumi. Hal ini berkorelasi pada kebutuhan akan adanya manajemen terintegrasi sumber daya air, yang bila tidak dilakukan akan berdampak pada pengrusakan sumber daya air secara fisik, institusional, dan selanjutnya berimplikasi pada sosioekonomi. Keadaan manajemen air di Indonesia pada saat ini termasuk dalam kategori yang kurang baik. Bila dibiarkan hal ini akan menyebabkan persoalan yang tidak menguntungkan, oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan yang sistematis dan terencana.
            Pendekatan yang setengah-setengah dalam menyelesaikan masalah tersebut tidak akan menghasilkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan secara lingkungan. Para pengambil keputusan dan pihak-pihak yang berwenang membutuhkan suatu kajian yang dapat menjembatani latar belakang keilmuan diantara mereka sehingga mereka bisa memformulasi suatu keputusan yang seimbang dan harmonis antara fungsi sosial, lingkungan, dan ekonomi dari sumber daya air.

B. Tujuan
            Tujuan paper ini adalah Menganalisis permasalahan-permasalahan terkait variable-variabel meteorologi tentang perubahan iklim, yaitu temperatur dan curah hujan, Mengkaji ketersediaan air dengan menggunakan variabel meteorologi (temperatur dan curah hujan) dan menghasilkan peta dan data spasial yang menggambarkan kondisi sungai sebagai implikasi perubahan iklim.












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

            Infiltrasi adalah air hujan atau air irigasi yang melalui permukaan tanah dan membasahi bagian tanah yang relative kering merupakan salah satu proses alamiah dasar. Habitat tanaman darat mencakup zona tanah basah yang bersiklus atau tetap (Marsall and Holmes, 1988)
            Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk kedalam tanah. Dengan kata lain infiltrasi adalah aliran air masuk kedalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air kearah vertical). Setelah lapisan tanah bagian atas jenuh kelebihan air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat gaya gravitasi bumi dikenal sebagai proses perkolasi (Asdak, 2002).
            Infiltrasi beragam secara terbaik dengan lengas tanah. Hal ini terjadi dalam tiga cara yaitu: kandungan air yang meningkat mengisi ruang pori dan mengurang kapasitas tanah untuk infiltrasi air selanjutnya, bila hujan membasahi suatu permukaan tanah yang kering, gaya kapiler yang kuat diciptakan yang cenderung untuk menarik air ke dalam tanah dengan laju yang jenuh lebih tinggi dibandingkan laju yang dihasilkan dari gaya gravitasi saja, meningkatkan air tanah yang menyebabkan pengembangan koloid dan mengurangi ruang pori (Subgyo, 1990).
            Daur hidrologi menunjukkan gerakan air di permukaan tanah dan kembali lagi kelaut yang tidak pernah berhenti, air akan tertahan sementara disungai, danau dan dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk lainnya. Dalam daur hidrologi, masukan berupa curah hujan akan didistribusikan melalui beberapa cara yaitu air lolos, aliran batang dan air hujan yang langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi (Asdak, 1995). Peranan hidrologi penutupan tajuk hutan diperbesar oleh bahan-bahan organic pada lantai hutan dan zona perakaran. Suatu tegakan hutan biasanya menghasilkan 1 hingga 10 ton/ha/tahun serasah organic, bahan ini melindungi tanah dari dampak tetesan hujan, memperbaiki strukturnya, menghambat pembekuan, meningkatkan kapasitas infiltrasi, menyerap air hujan dan salju yang melebur, serta benar-benar menjadi aliran permukaan dan erosi permukaan dalam hujan yang paling lebat. Perakaran adalah satu parameter hidrologi yang penting, karena membatasi volume air yang tersedia untuk transpirasi pada suatu tanah yang mongering (Lee, 1990).
            Hutan memiliki fungsi yang sangat penting dalam daur hidrologi. Infiltrasi air hujan ke dalam tanah terjadi sangat efektif pada lahan-lahan dengan intensitas penutupan vegetasi yang tinggi, seperti kawasan hutan. Hal ini karena kandungan bahan organic dan aktifitas berbagai organisasi dalam tanah dibawah hutan dapat meningkatkan porositas tanah. Pelapukan akar-akar tanaman yang mati meninggalkan lubang-lubang yang cukup besar ke dalam tanah. Seluruh faktor tersebut meningkatkan jumlah air hujan yang dapat masuk kedalam tanah. Sisa-sisa tumbuhan yang menutupi permukaan tanah, bersama dengan vegetasi yang masih hidup, dapat mengurangi laju limpasan air di permukaan. Oleh karena mekanisme-mekanisme seperti ini, hutan mampu mengendalikan laju aliran permukaan (run off) selama kejadian-kejadian hujan. Tingginya laju infiltrasi dalam kawasan hutan menjadikan kawasan hutan sebagai tempat pengisian kembali yang efektif terhadap air tanah (Tarus, 2002).
            Konsep siklus hidrologi adalah bahwa jumlah air di suatu luasan tertentu di hamparan bumi dipengaruhi oleh masukan (input) dan keluaran (output) yang terjadi. Kebutuhan air di kehidupan kita sangat luas dan selalu diinginkan dalam jumlah yang cukup pada saat yang tepat. Penyusunan neraca air di suatu tempat
dan pada suatu tempat dimaksudkan untuk mengetahui jumlah netto dari air yang
diperoleh sehingga dapat diupayakan pemanfaatannya sebaik mungkin. Menurut Mather (1978) istilah neraca air mempunyai beberapa arti yang berbeda tergantung dari skala ruang dan waktu yaitu :
  1. Skala makro : neraca air dapat digunakan dalam pengertian yang sama seperti siklus hidrologi, neraca global tahunan dari air di lautan, atmosfer dan bumi pada semua fase;
  2. Skala meso : neraca air dari suatu wilayah atau suatu drainase basin utama;
  3. Skala mikro : neraca air yang diselidiki dari lapangan bervegetasi, tegakan hutan atau kejadian individu pohon.
            Neraca air merupakan perimbangan antara masukan (input) dan keluaran (output) air di suatu tempat pada suatu saat/ periode tertentu. Dalam perhitungan digunakan satuan tinggi air (mm, atau cm). Satuan waktu yang digunakan dapat dipilih satuan harian, mingguan, dekad (10 harian), bulanan ataupun tahunan sesuai dengan keperluan.
            Dalam pertanian yang intensif, perhatian akan lingkungan sangat penting dalam kaitannya untuk mengoptimalkan pengaturan sumber air. Perlunya pemahaman bagaimana kaitannya antara cadangan sumber air dengan proses evapotranspirasi pada suatu tanaman sangatlah penting dalam hal pertanian. Pemanfaatan ilmu geolistrik dengan metode resistivitas mencoba untuk menggambarkan bagaimana keadaan bawah permukaan dari suatu tanaman. Hal ini tidak hanya penting dalam penghitungan suplai air tetapi juga menggambarkan perubahan dalam penyebaran ruangan di dalam tanah yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman.





















BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengolahan Data Iklim dan Perhitungan Groundwater
            Ada beberapa variabel yang dipergunakan dalam paper ini, dan seluruh variable tersebut juga dipakai dalam perhitungan untuk mendapatkan variabel-variabel groundwater. Data iklim yang digunakan adalah :
- Temperatur (oC)
- Curah hujan (mm)
- Kecepatan angin permukaan (m/s)
- Lama penyinaran (jam)
- Radiasi matahari rata-rata (cal/m2)

            Variabel-variabel tersebut kemudian diolah ke dalam persamaan-persamaan berikut untuk dapat menentukan evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah jumlah uap air yang dilepas kembali ke atmosfer baik yang berasal dari penguapan (evaporasi) maupun yang berasal dari tumbuhan dan makhluk hidup lainnya (transpirasi). Persamaan yang dipakai dalam melakukan perhitungan evapotranspirasi adalah persamaan Penman. Ada tiga persamaan utama dalam
metoda Penman, persamaan pertama yaitu :


Dengan :
E : evapotranspirasi
A : kemiringan kurva tekanan uap air jenuh pada suhu udara
Ea : evaporasi
H : persamaan transpirasi

Persamaan kedua yang digunakan adalah :
            H = R(1 – r)(0.8 + 0.5 S) – B(0.6 – 0.092√ed)(0.1 + 0.9 S)
dengan :
R : radiasi matahari pada permukaan horizontal
r : koefisien refleksi
S : radiasi matahari (sunshine)
ed : tekanan uap actual

Dan persamaan terakhir dari metoda Penman yang digunakan adalah :
                                    Ea = 0.3 (ea – ed)(k + 0.1 W2)
dengan :
ea : tekanan uap jenuh pada suhu rata-rata
k : koefisien kekasaran
W2 : kecepatan angin pada ketinggian 2 meter

            Langkah selanjutnya adalah menghitung limpasan langsung (Direct Runoff) dan aliran dasar (baseflow). Baseflow pada dasarnya adalah air yang ber-perkolasi sampai mencapai reservoir air tanah, dan kemudian memasok aliran sungai sebagai discharge air tanah. Metode Soil Conservation Service (SCS) merupakan suatu metode yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat sejak tahun 1947. Metode SCS digunakan untuk menghitung jumlah direct runoff dari suatu kejadian hujan (USDA, 1986). Persamaannya adalah :


Dimana,                      
Q = Direct Runoff (inci)
P = Curah Hujan (inci)
S = Retensi Maksimum (inci)
            Nilai S berkaitan dengan kondisi tanah dan tutupan lahan yang ditunjukkan melalui Curve Number (CN), nilai CN bervariasi antara 0 hingga 100.

            Untuk menentukan besar CN, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan yaitu, jenis tanah, tutupan lahan, kondisi hidrologi dan kelembaban tanah. Sedangkan baseflow dihitung dengan cara meneruskan persamaan Metode Penman. Pada dasarnya runoff adalah jumlah dari baseflow dengan direct runoff yang terjadi.
            Dengan metode SCS telah didapatkan nilai-nilai direct runoff, maka dengan data iklim yang ada, dapat dihasilkan nilai untuk variabel runoff. Dengan demikian maka nilai baseflow dapat diketahui. Output yang dihasilkan dari persamaan di atas akan menjadi bagian penting untuk membuat kebijakan dalam memuat manajemen badan sungai. Output tersebut akan dibuat untuk terus mengikuti perubahan kondisi sungai terkini, sehingga kebijakan yang dibuat pun akan dibuat sesuai dengan perubahan kondisi sungainya.
            Sesuatu yang menarik dari kajian ini adalah, bahwa kebijakan yang dibuat untuk manajemen badan sungai ini melibatkan perubahan iklim, sehingga formulasinya dapat juga dianggap sebagai strategi adaptasi sungai terhadap perubahan iklim. Kebijakan ini tidak hanya melibatkan faktor biofisika sungai tetapi juga memasukkan faktorfaktor lain seperti variabilitas iklim dan cuaca.

B. Analisis Proyeksi Temperatur dan Curah Hujan
            Perubahan iklim ditandai dengan perubahan dua faktor meteorologi penting, yaitu temperature dan curah hujan, yang kemudian dapat menyebabkan kenaikan muka air laut. Perubahan temperatur ini akan menyebabkan perubahan variabel atmosfer lainnya, yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan curah hujan. Perubahan curah hujan yang dimaksud tidaklah mengubah jumlah curah hujan, tapi yang berubah secara drastis adalah distribusinya. Artinya pada musim hujan, suatu daerah akan mengalami hujan lebih banyak dan pada musim kemarau akan mengalami hujan yang lebih sedikit. Kondisi ini akan menimbulkan banyak permasalahan bagi kehidupan manusia, karena dampak yang ditimbulkan sangat berbahaya dan bisa bersifat letal bagi manusia itu sendiri.
            Dengan kondisi yang disebutkan di atas, pada musim hujan potensi terjadinya bencana seperti banjir, longsor, dan penyebaran penyakit melalui vektor dapat meningkat. Dan pada musim kemarau bencana akan terus berlanjut seperti dengan adanya kekeringan sehingga akan menyebabkan gagal panen dan menimbulkan berbagai macam penyakit seperti penyakit kulit dan gangguan pencernaan yang dapat berujung pada kematian. Pola curah hujan Indonesia adalah tipe V atau tipe monsoon, atau curah hujan dengan grafik tahunan berbentuk seperti huruf V.
            Artinya, Indonesia pada umumnya akan mengalami presipitasi dalam jumlah banyak pada bulan Desember – Februari dan akan mengalami sedikit presipitasi pada bulan Juni – Agustus (lihat Gambar 4.1). Sedangkan bulan Maret – Mei dan September – November disebut sebagai musim peralihan. Pada musim peralihan ini, kondisi curah hujan dan angin sangat tidak menentu, hal ini disebabkan oleh perubahan angin pasat maupun monsoon oleh karena adanya pergeseran sumber panas (tekanan).










            Pola curah hujan ini berlaku juga di daerah penelitian. Dari data iklim yang dimiliki untuk daerah pengamatan, diketahui bahwa presipitasi rata-rata bulanan Januari adalah 362,4 mm (14,27 inci) sedangkan presipitasi rata-rata bulanan untuk bulan Juli adalah 99,04 mm (3,91 inci). Hal ini menunjukan bahwa pola curah hujan yang terjadi di daerah pengamatan adalah pola curah hujan monsoon (lihat Gambar 4.2).
            Dengan pola curah hujan jenis ini, maka jelas bahwa pada bulan Januari daerah pengamatan akan mendapatkan air berlimpah dari presipitasi, sehingga apabila tidak dikelola dengan benar bisa berpotensi untuk menyebabkan terjadinya berbagai bencana, namun dengan sistem pengelolaan yang baik, maka kelimpahan curah hujan pada musim hujan dapat dimanfaatkan untuk pengairan dan persediaan air bersih pada musim kering. Musim kering yang diwakili oleh bulan Juli menunjukan perbedaan yang mencolok dalam jumlah curah hujan. Hal ini dapat mengakibatkan kekeringan, gagal panen, dan kekurangan air bersih pada periode musim kemarau.
            Kondisi inipun akan mempengaruhi kondisi DAS Citarum, pada musim hujan, jumlah presipitasi yang terjadi dapat menyebabkan peluapan pada badan-badan sungai, sehingga berpotensi menimbulkan banjir. Namun bila dikelola dengan baik, maka dapat dimanfaatkan untuk menambah debit sungai sehingga dapat membantu pemanfaatan dam di wilayah DAS Citarum.







            Temperatur rata-rata daerah pengamatan berkisar antara 23oC – 27oC pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2004. Pola temperatur tahunan temperatur bersifat tidak menentu, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kapasitas kalor antara daratan dan lautan. Sehingga walaupun pada musim hujan, temperatur di Indonesia tidak akan mengalami penurunan, begitu pula pada musim kemarau, belum tentu temperaturnya menjadi lebih panas dari musim hujan.






BAB IV
KESIMPULAN

  1. Kenaikan temperatur merubah kondisi curah hujan dari segi distribusi musiman untuk daerah penelitian. Secara umum kondisi wilayah penelitian menjadi lebih basah pada musim basah dan lebih kering pada musim kemarau.
  2. Perubahan iklim ditandai dengan perubahan dua faktor meteorologi penting, yaitu temperature dan curah hujan, yang kemudian dapat menyebabkan kenaikan muka air laut.
  3. Pola temperatur tahunan temperatur bersifat tidak menentu, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kapasitas kalor antara daratan dan lautan. Sehingga walaupun pada musim hujan, temperatur di Indonesia tidak akan mengalami penurunan, begitu pula pada musim kemarau, belum tentu temperaturnya menjadi lebih panas dari musim hujan.

















DAFTAR PUSTAKA

D.J. Puradimaja, B. Kombaitan dan D.E. Irawan, 2006. Hydrogeological Analysis in Regional Planning of Tigaraksa City, Tangerang, Banten, Indonesia Langkawi- Malaysia.

Herlianti, I. 2007. Prediksi Curah Hujan dengan Data Radiosonde untuk Menentukan daerah Potensi Banjir. Tugas Akhir Program Studi Meteorologi. Insitut Teknologi Bandung.

Köppen W., 1900, Handbuch der Klimatologie, West Germany.

Suroso dan Santoso, 2006, Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit BanjirDaerah Aliran Sungai Banjaran, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Jenderal Soedirman.


No comments:

Post a Comment