BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Revolusi
industri yang dimulai di Eropa sejak tahun 1840 ditandai oleh pemakaian bahan
bakar fosil, terutama konsumsi bahan bakar batubara yang telah meningkatkan
secara drastis gas rumah kaca di atmosfer. Gas rumah kaca yang utama yang
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil tersebut adalah karbondioksida
(CO2). Akibat adanya efek gas rumah kaca tersebut telah memicu peningkatan
temperatur udara bumi secara global dari tahun ke tahun secara signifikan.
Fenomena ini dikenal sebagai pemanasan global. Pemanasan global yang disebabkan
oleh gas-gas rumah kaca secara jelas telah dan akan terus mempengaruhi iklim
dunia. WWF Indonesia dan IPCC (1999) telah melaporkan bahwa temperatur tahunan
di Indonesia meningkat sebesar 0,30C sejak tahun 1990. Sebuah scenario
perubahan iklim (WWF Indonesia dan IPCC, 1999) memperkirakan bahwa temperatur
akan meningkat antara 1.30C sampai dengan 4.60C pada tahun 2100 dengan trend
sebesar 0.10C–0.40C per tahun. Selanjutnya Susandi (2006) memproyeksikan
kenaikan temperature Indonesia akan mencapai 3,50C pada tahun 2100, sementara
temperatur global bumi akan mencapai maksimum 6,20C pada tahun tersebut.
Implikasi dari kenaikan temperatur tersebut
akan menaikkan muka air laut
sebesar 100 cm pada tahun 2100. Akumulasi kejadi ini akan mempengaruhi
infrastruktur, bangunan, dan kegiatan manusia saat ini dan mendatang.
Salah
satu persoalan kebutuhan manusia yang terpengaruh sebagai dampak pemanasan
global tersebut adalah ketersedian air. Ketersediaan air merupakan permasalahan
yang penting yang terkait dengan perubahan iklim. Vörösmarty et al. (2000)
menunjukan bahwa masalah air terjadi karena adanya peningkatan penduduk bumi
sehingga meningkatkan pula kebutuhan air. Kebutuhan yang meningkat akan semakin
menekan pada sistem air global yang berkaitan dengan efek pemanasan global.
Peningkatan jumlah penduduk dan ekonomi menjadi pendorong utama kebutuhan air,
sementara itu ketersediaannya dipengaruhi oleh peningkatan evaporasi
(penguapan) akibat peningkatan temperatur permukaan bumi. Hal ini berkorelasi
pada kebutuhan akan adanya manajemen terintegrasi sumber daya air, yang bila
tidak dilakukan akan berdampak pada pengrusakan sumber daya air secara fisik,
institusional, dan selanjutnya berimplikasi pada sosioekonomi. Keadaan manajemen
air di Indonesia pada saat ini termasuk dalam kategori yang kurang baik. Bila
dibiarkan hal ini akan menyebabkan persoalan yang tidak menguntungkan, oleh
karena itu perlu dilakukan pencegahan yang sistematis dan terencana.
Pendekatan
yang setengah-setengah dalam menyelesaikan masalah tersebut tidak akan
menghasilkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan secara lingkungan. Para
pengambil keputusan dan pihak-pihak yang berwenang membutuhkan suatu kajian
yang dapat menjembatani latar belakang keilmuan diantara mereka sehingga mereka
bisa memformulasi suatu keputusan yang seimbang dan harmonis antara fungsi
sosial, lingkungan, dan ekonomi dari sumber daya air.
B.
Tujuan
Tujuan
paper ini adalah Menganalisis permasalahan-permasalahan terkait variable-variabel
meteorologi tentang perubahan iklim, yaitu temperatur dan curah hujan, Mengkaji
ketersediaan air dengan menggunakan variabel meteorologi (temperatur dan curah
hujan) dan menghasilkan peta dan data spasial yang menggambarkan kondisi sungai
sebagai implikasi perubahan iklim.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Infiltrasi
adalah air hujan atau air irigasi yang melalui permukaan tanah dan membasahi
bagian tanah yang relative kering merupakan salah satu proses alamiah dasar.
Habitat tanaman darat mencakup zona tanah basah yang bersiklus atau tetap
(Marsall and Holmes, 1988)
Infiltrasi
adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk kedalam
tanah. Dengan kata lain infiltrasi adalah aliran air masuk kedalam tanah
sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air kearah vertical). Setelah lapisan
tanah bagian atas jenuh kelebihan air tersebut mengalir ke tanah yang lebih
dalam sebagai akibat gaya gravitasi bumi dikenal sebagai proses perkolasi
(Asdak, 2002).
Infiltrasi
beragam secara terbaik dengan lengas tanah. Hal ini terjadi dalam tiga cara
yaitu: kandungan air yang meningkat mengisi ruang pori dan mengurang kapasitas
tanah untuk infiltrasi air selanjutnya, bila hujan membasahi suatu permukaan
tanah yang kering, gaya kapiler yang kuat diciptakan yang cenderung untuk
menarik air ke dalam tanah dengan laju yang jenuh lebih tinggi dibandingkan
laju yang dihasilkan dari gaya gravitasi saja, meningkatkan air tanah yang
menyebabkan pengembangan koloid dan mengurangi ruang pori (Subgyo, 1990).
Daur
hidrologi menunjukkan gerakan air di permukaan tanah dan kembali lagi kelaut
yang tidak pernah berhenti, air akan tertahan sementara disungai, danau dan
dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk lainnya.
Dalam daur hidrologi, masukan berupa curah hujan akan didistribusikan melalui
beberapa cara yaitu air lolos, aliran batang dan air hujan yang langsung sampai
ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air
infiltrasi (Asdak, 1995). Peranan hidrologi penutupan tajuk hutan diperbesar
oleh bahan-bahan organic pada lantai hutan dan zona perakaran. Suatu tegakan
hutan biasanya menghasilkan 1 hingga 10 ton/ha/tahun serasah organic, bahan ini
melindungi tanah dari dampak tetesan hujan, memperbaiki strukturnya, menghambat
pembekuan, meningkatkan kapasitas infiltrasi, menyerap air hujan dan salju yang
melebur, serta benar-benar menjadi aliran permukaan dan erosi permukaan dalam
hujan yang paling lebat. Perakaran adalah satu parameter hidrologi yang
penting, karena membatasi volume air yang tersedia untuk transpirasi pada suatu
tanah yang mongering (Lee, 1990).
Hutan
memiliki fungsi yang sangat penting dalam daur hidrologi. Infiltrasi air hujan
ke dalam tanah terjadi sangat efektif pada lahan-lahan dengan intensitas penutupan
vegetasi yang tinggi, seperti kawasan hutan. Hal ini karena kandungan bahan
organic dan aktifitas berbagai organisasi dalam tanah dibawah hutan dapat
meningkatkan porositas tanah. Pelapukan akar-akar tanaman yang mati
meninggalkan lubang-lubang yang cukup besar ke dalam tanah. Seluruh faktor
tersebut meningkatkan jumlah air hujan yang dapat masuk kedalam tanah.
Sisa-sisa tumbuhan yang menutupi permukaan tanah, bersama dengan vegetasi yang
masih hidup, dapat mengurangi laju limpasan air di permukaan. Oleh karena
mekanisme-mekanisme seperti ini, hutan mampu mengendalikan laju aliran
permukaan (run off) selama kejadian-kejadian hujan. Tingginya laju infiltrasi
dalam kawasan hutan menjadikan kawasan hutan sebagai tempat pengisian kembali
yang efektif terhadap air tanah (Tarus, 2002).
Konsep
siklus hidrologi adalah bahwa jumlah air di suatu luasan tertentu di hamparan
bumi dipengaruhi oleh masukan (input) dan keluaran (output) yang terjadi.
Kebutuhan air di kehidupan kita sangat luas dan selalu diinginkan dalam jumlah
yang cukup pada saat yang tepat. Penyusunan neraca air di suatu tempat
dan pada suatu tempat dimaksudkan
untuk mengetahui jumlah netto dari air yang
diperoleh sehingga dapat diupayakan
pemanfaatannya sebaik mungkin. Menurut Mather (1978) istilah neraca air
mempunyai beberapa arti yang berbeda tergantung dari skala ruang dan waktu
yaitu :
- Skala
makro : neraca air dapat digunakan dalam pengertian yang sama seperti
siklus hidrologi, neraca global tahunan dari air di lautan, atmosfer dan
bumi pada semua fase;
- Skala
meso : neraca air dari suatu wilayah atau suatu drainase basin utama;
- Skala
mikro : neraca air yang diselidiki dari lapangan bervegetasi, tegakan
hutan atau kejadian individu pohon.
Neraca
air merupakan perimbangan antara masukan (input) dan keluaran (output) air di
suatu tempat pada suatu saat/ periode tertentu. Dalam perhitungan digunakan
satuan tinggi air (mm, atau cm). Satuan waktu yang digunakan dapat dipilih
satuan harian, mingguan, dekad (10 harian), bulanan ataupun tahunan sesuai
dengan keperluan.
Dalam
pertanian yang intensif, perhatian akan lingkungan sangat penting dalam
kaitannya untuk mengoptimalkan pengaturan sumber air. Perlunya pemahaman
bagaimana kaitannya antara cadangan sumber air dengan proses evapotranspirasi
pada suatu tanaman sangatlah penting dalam hal pertanian. Pemanfaatan ilmu
geolistrik dengan metode resistivitas mencoba untuk menggambarkan bagaimana
keadaan bawah permukaan dari suatu tanaman. Hal ini tidak hanya penting dalam
penghitungan suplai air tetapi juga menggambarkan perubahan dalam penyebaran
ruangan di dalam tanah yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Pengolahan
Data Iklim dan Perhitungan Groundwater
Ada
beberapa variabel yang dipergunakan dalam paper ini, dan seluruh variable
tersebut juga dipakai dalam perhitungan untuk mendapatkan variabel-variabel groundwater.
Data iklim yang digunakan adalah :
- Temperatur (oC)
- Curah hujan (mm)
- Kecepatan angin permukaan (m/s)
- Lama penyinaran (jam)
- Radiasi matahari rata-rata (cal/m2)
Variabel-variabel
tersebut kemudian diolah ke dalam persamaan-persamaan berikut untuk dapat
menentukan evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah jumlah uap air yang
dilepas kembali ke atmosfer baik yang berasal dari penguapan (evaporasi) maupun
yang berasal dari tumbuhan dan makhluk hidup lainnya (transpirasi). Persamaan
yang dipakai dalam melakukan perhitungan evapotranspirasi adalah persamaan
Penman. Ada tiga persamaan utama dalam
metoda Penman, persamaan pertama
yaitu :
Dengan :
E : evapotranspirasi
A : kemiringan kurva tekanan uap
air jenuh pada suhu udara
Ea : evaporasi
H : persamaan transpirasi
Persamaan kedua yang digunakan
adalah :
H = R(1 – r)(0.8 + 0.5 S) – B(0.6 –
0.092√ed)(0.1 + 0.9 S)
dengan :
R : radiasi matahari pada permukaan
horizontal
r : koefisien refleksi
S : radiasi matahari (sunshine)
ed : tekanan uap actual
Dan
persamaan terakhir dari metoda Penman yang digunakan adalah :
Ea
= 0.3 (ea – ed)(k + 0.1 W2)
dengan :
ea : tekanan uap jenuh pada suhu
rata-rata
k : koefisien kekasaran
W2 : kecepatan angin pada
ketinggian 2 meter
Langkah selanjutnya adalah
menghitung limpasan langsung (Direct Runoff) dan aliran dasar (baseflow).
Baseflow pada dasarnya adalah air yang ber-perkolasi sampai mencapai
reservoir air tanah, dan kemudian memasok aliran sungai sebagai discharge air
tanah. Metode Soil Conservation Service (SCS) merupakan suatu
metode yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat sejak tahun
1947. Metode SCS digunakan untuk menghitung jumlah direct runoff dari
suatu kejadian hujan (USDA, 1986). Persamaannya adalah :
Dimana,
Q = Direct Runoff (inci)
P = Curah Hujan (inci)
S
= Retensi Maksimum (inci)
Nilai
S berkaitan dengan kondisi tanah dan tutupan lahan yang ditunjukkan melalui Curve
Number (CN), nilai CN bervariasi antara 0 hingga 100.
Untuk
menentukan besar CN, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan yaitu, jenis
tanah, tutupan lahan, kondisi hidrologi dan kelembaban tanah. Sedangkan baseflow
dihitung dengan cara meneruskan persamaan Metode Penman. Pada dasarnya runoff
adalah jumlah dari baseflow dengan direct runoff yang
terjadi.
Dengan
metode SCS telah didapatkan nilai-nilai direct runoff, maka dengan data
iklim yang ada, dapat dihasilkan nilai untuk variabel runoff. Dengan
demikian maka nilai baseflow dapat diketahui. Output yang dihasilkan
dari persamaan di atas akan menjadi bagian penting untuk membuat kebijakan
dalam memuat manajemen badan sungai. Output tersebut akan dibuat untuk terus
mengikuti perubahan kondisi sungai terkini, sehingga kebijakan yang dibuat pun
akan dibuat sesuai dengan perubahan kondisi sungainya.
Sesuatu
yang menarik dari kajian ini adalah, bahwa kebijakan yang dibuat untuk
manajemen badan sungai ini melibatkan perubahan iklim, sehingga formulasinya
dapat juga dianggap sebagai strategi adaptasi sungai terhadap perubahan iklim.
Kebijakan ini tidak hanya melibatkan faktor biofisika sungai tetapi juga
memasukkan faktorfaktor lain seperti variabilitas iklim dan cuaca.
B. Analisis
Proyeksi Temperatur dan Curah Hujan
Perubahan
iklim ditandai dengan perubahan dua faktor meteorologi penting, yaitu
temperature dan curah hujan, yang kemudian dapat menyebabkan kenaikan muka air
laut. Perubahan temperatur ini akan menyebabkan perubahan variabel atmosfer
lainnya, yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan curah hujan. Perubahan
curah hujan yang dimaksud tidaklah mengubah jumlah curah hujan, tapi yang
berubah secara drastis adalah distribusinya. Artinya pada musim hujan, suatu
daerah akan mengalami hujan lebih banyak dan pada musim kemarau akan mengalami
hujan yang lebih sedikit. Kondisi ini akan menimbulkan banyak permasalahan bagi
kehidupan manusia, karena dampak yang ditimbulkan sangat berbahaya dan bisa
bersifat letal bagi manusia itu sendiri.
Dengan
kondisi yang disebutkan di atas, pada musim hujan potensi terjadinya bencana
seperti banjir, longsor, dan penyebaran penyakit melalui vektor dapat
meningkat. Dan pada musim kemarau bencana akan terus berlanjut seperti dengan
adanya kekeringan sehingga akan menyebabkan gagal panen dan menimbulkan
berbagai macam penyakit seperti penyakit kulit dan gangguan pencernaan yang
dapat berujung pada kematian. Pola curah hujan Indonesia adalah tipe V atau
tipe monsoon, atau curah hujan dengan grafik tahunan berbentuk seperti huruf V.
Artinya,
Indonesia pada umumnya akan mengalami presipitasi dalam jumlah banyak pada
bulan Desember – Februari dan akan mengalami sedikit presipitasi pada bulan
Juni – Agustus (lihat Gambar 4.1). Sedangkan bulan Maret – Mei dan September –
November disebut sebagai musim peralihan. Pada musim peralihan ini, kondisi
curah hujan dan angin sangat tidak menentu, hal ini disebabkan oleh perubahan
angin pasat maupun monsoon oleh karena adanya pergeseran sumber panas
(tekanan).
Pola
curah hujan ini berlaku juga di daerah penelitian. Dari data iklim yang
dimiliki untuk daerah pengamatan, diketahui bahwa presipitasi rata-rata bulanan
Januari adalah 362,4 mm (14,27 inci) sedangkan presipitasi rata-rata bulanan
untuk bulan Juli adalah 99,04 mm (3,91 inci). Hal ini menunjukan bahwa pola
curah hujan yang terjadi di daerah pengamatan adalah pola curah hujan monsoon
(lihat Gambar 4.2).
Dengan
pola curah hujan jenis ini, maka jelas bahwa pada bulan Januari daerah
pengamatan akan mendapatkan air berlimpah dari presipitasi, sehingga apabila
tidak dikelola dengan benar bisa berpotensi untuk menyebabkan terjadinya
berbagai bencana, namun dengan sistem pengelolaan yang baik, maka kelimpahan
curah hujan pada musim hujan dapat dimanfaatkan untuk pengairan dan persediaan
air bersih pada musim kering. Musim kering yang diwakili oleh bulan Juli
menunjukan perbedaan yang mencolok dalam jumlah curah hujan. Hal ini dapat
mengakibatkan kekeringan, gagal panen, dan kekurangan air bersih pada periode
musim kemarau.
Kondisi
inipun akan mempengaruhi kondisi DAS Citarum, pada musim hujan, jumlah
presipitasi yang terjadi dapat menyebabkan peluapan pada badan-badan sungai,
sehingga berpotensi menimbulkan banjir. Namun bila dikelola dengan baik, maka
dapat dimanfaatkan untuk menambah debit sungai sehingga dapat membantu
pemanfaatan dam di wilayah DAS Citarum.
Temperatur
rata-rata daerah pengamatan berkisar antara 23oC – 27oC
pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2004. Pola temperatur tahunan temperatur
bersifat tidak menentu, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kapasitas
kalor antara daratan dan lautan. Sehingga walaupun pada musim hujan, temperatur
di Indonesia tidak akan mengalami penurunan, begitu pula pada musim kemarau,
belum tentu temperaturnya menjadi lebih panas dari musim hujan.
BAB IV
KESIMPULAN
- Kenaikan
temperatur merubah kondisi curah hujan dari segi distribusi musiman untuk
daerah penelitian. Secara umum kondisi wilayah penelitian menjadi lebih
basah pada musim basah dan lebih kering pada musim kemarau.
- Perubahan
iklim ditandai dengan perubahan dua faktor meteorologi penting, yaitu
temperature dan curah hujan, yang kemudian dapat menyebabkan kenaikan muka
air laut.
- Pola
temperatur tahunan temperatur bersifat tidak menentu, hal ini disebabkan oleh
adanya perbedaan kapasitas kalor antara daratan dan lautan. Sehingga
walaupun pada musim hujan, temperatur di Indonesia tidak akan mengalami
penurunan, begitu pula pada musim kemarau, belum tentu temperaturnya
menjadi lebih panas dari musim hujan.
DAFTAR
PUSTAKA
D.J.
Puradimaja, B. Kombaitan dan D.E. Irawan, 2006. Hydrogeological Analysis in
Regional Planning of Tigaraksa City, Tangerang, Banten, Indonesia Langkawi-
Malaysia.
Herlianti,
I. 2007. Prediksi Curah Hujan dengan Data Radiosonde untuk Menentukan daerah
Potensi Banjir. Tugas Akhir Program Studi Meteorologi. Insitut Teknologi
Bandung.
Köppen
W., 1900, Handbuch der Klimatologie, West Germany.
Suroso
dan Santoso, 2006, Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit
BanjirDaerah Aliran Sungai Banjaran, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Jenderal
Soedirman.
No comments:
Post a Comment